Senin 18 Apr 2022 05:15 WIB

Seputar Hadis Puasa Rajab

Seputar Hadis Puasa Rajab

Red:

Sebuah pertanyaan melalui pesan pendek (SMS) masuk ke handphone kami. "Pak Ustaz, sekarang beredar lagi tentang puasa bulan Rajab. Kami mohon apa ada dalilnya? Puasa Rajab 1 hari seperti puasa setahun, tujuh hari ditutup pintu-pintu neraka jahanam, delapan hari dibuka pintu-pintu surga, 10 hari dikabulkan segala permintaannya, dan barang siapa yang mengingatkan tentang ini seakan dia beribadah 80 tahun."

Baca Juga

SMS ini ada baiknya, karena yang bersangkutan menanyakan tentang dalil amalan puasa Rajab itu. Sementara, yang kami pantau, banyak beredar di media informasi yang seolah-olah membenarkan amalan-amalan puasa tersebut sehingga hal itu menimbulkan keresahan, bahkan dipertanyakan siapa dan apa motivasinya informasi seperti itu disebarkan.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) dalam kitabnya Tabyin al-'Ajab bima Warad fi Fadhl Rajab menyebutkan bahwa tidak ada satu pun hadis yang valid (sahih) tentang fadhilah (keutamaan) puasa pada Rajab. Bersama kawan-kawan, kami juga meneliti hadis seperti yang maksudnya dipertanyakan dalam SMS tadi.

Ternyata hadis tersebut adalah palsu. Yang aneh, Imam Ibnu Hajar pada abad ke-9 Hijriyah telah memberikan pernyataan seperti itu. Namun, faktanya, hadis-hadis palsu, dalam hal ini yang berkaitan dengan puasa pada Rajab tidak kemudian hilang, tidak disebut orang, tetapi justru berkembang dengan tambahan-tambahan, seperti siapa yang mengingatkan ibadah ini akan mendapatkan pahala beribadah selama 80 tahun.

Kami sendiri punya pengalaman, sejak 1985, kami telah berusaha, baik melalui mimbar maupun lembar, melalui lisan dan tulisan, untuk memberikan pencerahan kepada umat tentang fenomena hadis-hadis palsu berikut bahaya menyebarkannya. Ketika kami sudah menginventarisasi beberapa hadis palsu seputar Ramadhan yang kemudian kami terbitkan dalam sebuah buku, tiba-tiba di internet bermunculan hadis palsu yang baru seputar Ramadhan.

Seolah-olah fenomena munculnya hadis palsu itu memang ada pihak yang sengaja menciptakan untuk kepentingan tertentu. Tampaknya, kepentingan itu adalah untuk meresahkan umat sehingga mereka hanya menyibukkan diri dan menguras energi untuk membicarakan isu hadis palsu tersebut.

Kepentingan selanjutnya adalah untuk membuat umat supaya terninabobokan dengan amalan-amalan yang bersumber dari hadis palsu tersebut. Sebut saja, misalnya, hadis palsu seputar Ramadhan yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah dan diamnya sama dengan membaca tasbih. Hadis seperti ini akan membawa dampak yang buruk bagi umat Islam sehingga mereka pada siang hari lebih suka tidur dan bermalas-malasan daripada beraktivitas.

Menurut kajian ilmu hadis, salah satu gejala hadis palsu adalah amalannya sedikit dan pahalanya sangat besar. Kendati begitu, gejala ini belum memberikan sinyal yang positif tentang kepalsuan sebuah hadis.

Kepalsuan sebuah hadis dapat dideteksi melalui matan (materi) dan sanad (transmisi hadis). Apabila dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat) yang berperilaku dusta, menurut disiplin ilmu hadis, hadis tersebut divonis sebagai hadis palsu.

Konsekuensinya, hadis seperti itu harus dikubur, tidak boleh diamalkan, dan tidak boleh disebut-sebut kecuali dalam rangka untuk dijelaskan kepalsuannya. Hal itu karena orang yang menyebarkan hadis palsu dan ia mengetahui tentang kepalsuan hadis itu, Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai orang yang ikut mendustakan Nabi. Dan, orang yang mendustakan Nabi Muhammad SAW dengan sengaja dipersilakan untuk siap-siap memasuki neraka.

Kendati demikian, bukan berarti puasa pada Rajab dilarang sebab ada hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, an-Nasa'i, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di mana Nabi SAW menyuruh salah seorang sahabat beliau untuk berpuasa pada bulan-bulan mulia (al-Asyhur al-Hurum). Sementara, salah satu daripada empat bulan mulia itu adalah Rajab.

Sesungguhnya yang dilarang dalam Islam adalah menyebarkan hadis palsu dan beribadah dengan berlandaskan kepada hadis palsu tersebut. Ketika kita beribadah dan ternyata ada landasan hadis yang tidak palsu, hal itu bukanlah yang dilarang. Karena itu, kita perlu cermat dalam beribadah dengan mengetahui landasan hukumnya (dalil) yang valid.

*Tulisan ini dikirim oleh penulis ke redaksi pada 8 April 2016

Ali Mustafa Yaqub*

Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement