٧
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
liyunfiq żụ sa'atim min sa'atih, wa mang qudira 'alaihi rizquhụ falyunfiq mimmā ātāhullāh, lā yukallifullāhu nafsan illā mā ātāhā, sayaj'alullāhu ba'da 'usriy yusrā
7. Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kewajiban ayah memberikan upah kepada perempuan yang menyusukan anaknya menurut kemampuannya. Jika kemampuan ayah itu hanya dapat memberi makan karena rezekinya sedikit, maka hanya itulah yang menjadi kewajibannya. Allah tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 286)
Dalam ayat lain juga dijelaskan:
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. (al-Baqarah/2: 233)
Tidak ada yang kekal di dunia. Pada suatu waktu, Allah akan mem-berikan kelapangan sesudah kesempitan, kekayaan sesudah kemiskinan, kesenangan sesudah penderitaan. Allah berfirman:
Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. (asy-Syarh/94: 6)